contoh makalah psikologi sosial tentang persepsi dan pengukurannya

MAKALAH

PERSEPSI DAN PENGUKURANNYA

Untuk memenuhi tugas mata kuliah psikologi sosial

Disusun oleh :

KELOMPOK 2

Wafa Rahamani                   : 6320114058

                                                   Resti Martiani Sopian         : 6320114048

                                                    Anna Fitriani. M                  : 6320114032

                                                     Yusuf Maulana                     : 6320114063

 

AN 5 PAGI

STISIP WIDYAPURI MANDIRI

Komplek Gelanggang Pemuda Cisaat Jl. Raya Cisaat  No.6

Telp (0266) 222867 Fax : (0266) 22286

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

KATA PENGANTAR

 

Segala puji hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan kesempatan, kemampuan, dan kesehatan serta kenikmatan yang telah diberikan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang Insya Allah bermanfaat bagi kita.

Tujuan makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah”psikologi sosial”di bawah bimbingan Ibu Santi Legianti Sutandi S,pd.M,pd.

Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis pribadi dan pembaca, serta dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan pengetahuan kita tentang Persepsi dan pengukurannya.

Penulis  menyadari bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan maka dengan ini kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir kata penulis mohon maaf jika ada kata yang kurang berkenan.

 

 

 

Sukabumi, 14 Oktober 2016

 

 

Penulis

 

DAFTAR ISI

 

KATA PENGANTAR. i

DAFTAR ISI ii

BAB 1. 1

PENDAHULUAN.. 1

  1. Latar Belakang. 1
  2. Rumusan Masalah. 2
  3. Tujuan. 2

BAB II 3

PEMBAHASAN.. 3

  1. Pengertian Persepsi 3
  2. Terjadinya Proses Persepsi 3
  3. Proses Generalisasi 4
  4. Pembentukan Kesan. 4
  5. Interaksi Antar Kepribadian. 5
  6. Penilaian. 5
  7. Penilaian Berdasarkan Penampilan. 6

Ekspresi Emosional Wajah. 6

Bentuk Wajah. 6

Tubuh. 7

Penampilan Atraktif. 7

Gaya Bahasa, Dialek, dan Suara. 7

  1. Pengukuran Persepsi 9

BAB III. 13

PENUTUP.. 13

  1. KESIMPULAN.. 13

DAFTAR PUSTAKA.. 15

 

 

 

BAB 1

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang

Manusia sebagai makhluk sosial yang sekaligus juga makhluk individual. Sebagai makhluk sosial, manusia harus melakukan interaksi dengan sesamanya dan lingkungan disekitrnya untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan sebagai makhluk individu, antara manusia yang satu dengan yang lain pastilah sedikit banyak terdapat perbedaan. Perbedaan tersebut beragam, mulai dari perbedaan fisik, kepribadian, tingkah laku, watak dan sebagainya. Dalam melihat suatu objek yang sama sekalipun, individu memiliki penilaiannya masing-masing. Hal ini sangat tergantung bagaimana individu menanggapi obyek tersebut dengan persepsinya. Pada kenyataannya sebagian besar sikap, tingkah laku dan penyesuaian ditentukan oleh persepsinya.

Persepsi merupakan sebuah proses yang hampir bersifat otomatik, dan ia bekerja dengan cara yang hampir serupa pada masing-masing individu, tetapi sekalipun demikian secara tipikal menghasilkan persepsi-persepsi yang berbeda-beda. Karena itulah persepsi menjadi begitu penting dalam penafsiran individu terhadap keadaan atau kondisi disekelilingnya.

Persepsi atau pandangan adalah sebuah proses saat individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan guna memberikan arti bagi lingkungan masyarakat. Perilaku individu seringkali didasarkan pada persepsi masyarakat tentang kenyataan, bukan pada kenyataan itu sendiri. Menurut Brehm dan Kassin (1989), persepsi sosial adalah penilaian-penilaian yang terjadi dalam upaya manusia memahami orang lain. Tentu saja sangat penting, namun bukan tugas yang mudah bagi setiap orang. Oleh karena itu, kami mencoba untuk menyajikan bahasan menarik mengenai persepsi dalam pandangan atau konteks psikologi sosial.

Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi yang diukur bersifat abstraks, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap terdiri dari metode self report dan pengukuran involuntary behavior.

 

  1. Rumusan Masalah
  2. Apa yang dimaksud persepsi?
  3. Bagaimana proses persepsi terjadi?
  4. Bagaimana seseorang memberi penilaian berdasarkan penampilan?
  5. Apa yang dimaksud persepsi sosial?
  6. Bagaimana cara pengukuran persepsi?

 

  1. Tujuan
  2. Untuk memenuhi tugas matakuliah psikologi sosial.
  3. Untuk menamabah wawasan kepada para pembaca.
  4. Dapat mengetahui persepsi dan pengukurannya secara garis besar.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian Persepsi

Persepsi adalah proses penginderaan, yaitu diterimanya stimulus oleh alat pengindera. Stimulus yang mengenai individu itu kemudian di organisasikan, diinterpretasikan, sehingga individu menyadari tentang apa yang di indranya itu. Proses inilah yang dimaksud dengan persepsi. Disamping itu menurut Maskowitz dan Orgel (1969) persepsi itu merupakan proses yang intergrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya.

Persepsi adalah proses membuat penilaian (judgement) atau membangun kesan (impression) mengenai berbagai macam hal yang terdapat dalam lapangan penginderaan seseorang. Penilaian atau pembentukan kesan ini adalah dalam upaya pemberian makna kepada hal-hal tersebut (Harvey & Smith; Wrigthsman & Deaux).

Ada dua pandangan mengenai proses persepsi, yaitu:

  1. Persepsi sosial berlangsung cepat dan otomatis tanpa banyak pertimbangan, seseorang membuat kesimpulan tentang orang lain dengan cepat berdasarkan penampilan fisik dan perhatian sekilas.
  2. Persepsi sosial adalah sebuah proses yang kompleks. Orang mengamati perilaku orang lain dengan teliti hingga di peroleh analisis secara lengkap terhadap person, situasional, dan behaviour.
  3. Terjadinya Proses Persepsi

Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh pengindraan. Pengindraan adalah merupakan suatu proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat penerima yaitu alat indra. Namun proses tersebut tidak berhenti di situ saja, pada umumnya stimulus tersebut diteruskan oleh syaraf ke otak sebagai pusat susunan syaraf, dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses pengindraan, dan proses pengindraan merupakan proses yang mendahului terjadinya persepsi. Proses pengindraan terjadi setiap saat, yaitu pada waktu individu menerima stimulus yang mengenai dirinya melalui alat indra. Alat indra merupakan penghubung antara individu dengan dunia luarnya (Branca, 1964; Woodworth dan Marquis, 1957). Dengan proses persepsi ini kemudian kita dapat membedakan sesuatu kepada dua kategori, baik-buruk, cantik-jelek, tinggi-rendah dan lain sebagainya.

Selain melalui proses penginderaan, persepsi juga dapat terjadi oleh adanya komunikasi nonverbal. Contohnya, ketika seorang anak sekolah dijemput dengan mobil mewah setiap hari kemudian hal ini terlihat oleh temannya, pasti temannya tersebut berpikir bahwa anak tadi berasal dari keluarga yang kaya. Proses penginderaan terjadi oleh mata, yaitu bahwa teman-temannya tadi melihat suatu peristiwa. Tanpa ada komunikasi verbal bahwa ada yang memberitahu bahwa anak tadi adalah orang kaya, dengan sendirinya anak-anak yang lain tadi menafsirkan dari apa yang telah mereka lihat.

  1. Proses Generalisasi

Proses generalisasi adalah mendeskripsikan kepribadian seseorang dalam bentuk kata-kata (verbal). Setiap kata atau frasa yang digunakan dalam mendeskripsikan seseoarang atau sesuatu akan memperkecil kisaran pencarian. Makin banyak keterangan atau informasi yang dimiliki, makin tepat pula antipasinya.

Ilmu linguistik menyatakan bahwa bahasa bersifat generative. Ini berarti, hanya dengan berbekal sejumlah terbatas kosakata dan aturan tata bahasa saja, dapat menciptakan kalimat yang tak terhingga.

  1. Pembentukan Kesan

Pengetahuan tentang orang-orang tertentu dan kaitannya dengan atribut tertentu sering diistilahkan sebagai prototype. Hasil prototype memunculkan adanya stereotype, yaitu pemberian atribut tertentu pada sekelompok orang tertentu. Contoh: orang Indonesia ramah,orang Amerika individualistis.

Dalam pembentukan kesan, stereotype sulit diabaikan begitu saja. Stereotype akan membatasi persepsi dan komunikasi, stereotype juga bisa dimanfaatkan untuk membina hubungan yang lebih lanjut. Pada konsep kepribadian implicit, stereotype juga akan memunculkan illusorycorrelation, yaitu mengaitkan secara berlebihan antara satu karakteristik dengan karakteristik yang lain secara general.

Dalam pembentukan kesan terhadap orang lain, ada kecenderungan untuk secepatnya mengkategorikan orang tersebut kedalam suatu cirri tertentu. Penilaian yang cepat ini (snap jugdment) memiliki arti penting dalam proses pembentukan kesan selanjutnya. Contoh yang sering ditemu adalah munculnya halo efek. Yang disebut gejala self-fulfillingprophecy adalah pembuatan kategorisasi tertentu dengan diwarnai harapan berdasarkan asumsi penilai.

Pembentukan kesan yang terbentuk dalam pikiran seseorang di saat pertama kali berjumpa dengan orang lain ditentukan oleh berbagai hal, seperti dari penampilan fisik, kemudian sosial demografik dan juga komunikasi non-verbal.

  1. Interaksi Antar Kepribadian

Penelitian mengenai kepribadian manusia berawal ketika seseorang diberikan daftar kepribadian. Beberapa unsur kepribadian  yang disebut kepibadian utama  lebih “kuat” dibandingkan yang lainnya, sehingga cenderung memberi warna bagi unsur-unsur kepribadian lainnya. Dingin dan hangat pada kepribadian seseorang adalah salah satu contohnya.

Hal ini tidak hanya terjadi ketika kita diminta mendeskripsikan seorang hanya berdasarkan  daftar unsur kepribadiannya saja, melinkan juga pada saat menata kesan terhadap orang yang di hadapi. Bila menilai suatu pribadi sebagai orang baik, selanjutnya akan terlihat bawa setiap tindak-tanduknya selalu diliputi cahaya “kebaikan”. Sebaliknya bila terlanjur menilai seseorang sebagai oang jahat, maka apapun yan dilakukan akan selalu dipandang negatif.

  1. Penilaian

Mengamati karakter-karakter yang dimiliki seseorang satu demi satu, merangkainya, dan mengungkapkan penilaiannya. Ini diawali dari kaakter yang sudah jelas maknanya hingga yang bersifat abstrak, tersembunyi, atau tidak jelas. Contohnya saat melihat seseorang mengenakan pakaian putih, membawa stetoskop, serta memiliki sederean ijazah yang tergantung pada dinding ruang kerjanya, maka akan disimpulkan bahwa orang ini adalah seorang dokter.

Sebagaian penilaian yang dibua itu bersifat definitif; sementara yang lainnya lebih condong pada keyakinan semata. Faktor yang mempengaruhi kesimpuan ataupun penilaian, seperti:

  1. Senyuman selalu dianggap sebagai tanda kebahagiaan, karena telah menjadi bagian mekanisme biologis kita.
  2. Mengacungkan jari tengah dipandang masyarakat sebagai tanda penghinaan, karena telah dianggap demikian olh kebudayaan masyarakat.
  3. Kaum wanita dipandang memliki kelemahan dalam bidang matematika atau teknik oleh masyarakat kita. Stereotip ini mendorong orang tua untuk mengabaikan keampuan atau bakat matematika serta teknik putri-putri mereka.
  4. Bayak kesimpulan atau penilaian kita yang sama sekali tidak tepat. Kita menyebut kesimpulan yang gagal ini sebagai takhayul.

 

  1. Penilaian Berdasarkan Penampilan
  2. Ekspresi Emosional Wajah

Ekspresi-ekspresi wajah tertentu bersifat universal diantara berbagai bangsa atau kalangan. Contoh, tertawa dimana saja dianggap sebagai ekpresi kegembiraan. Tidak ada orang yang tertwa karena sedih. Sebaliknya, tangisan adalah ekspresi kesedihan yang dialami seseorang.

Ahli antropologi menemukan bahwa ekspresi-ekspresi emosional universal ini juga dijumpai pada budaya-budaya yang tidak pernah bersinggungan dengan peradaban lain (suku terasing penerj).

Ekspresi wajah seseorang dapat mempengaruhi dan mendorong orang lain untuk ikut malukan hal serupa. Kita cenderung membalas senyuman orang lain atau ikut meneteskan air mata bila melihat orang lain tersedu-sedu di depan kia. Hendaknya kita juga ingat bahwa beberapa ekspresi wajah terikat budayanya masing-masing. Sebagai contoh, menggeleng yang kita anggap menidakkan sesuatu, ternyata di India berarti iya.

  1. Bentuk Wajah

Landasan biologis ekspresi wajah yang menyebabkan kita menyimpulkn kepribadian seseorang bedasarkan bentuk wajah adalah: kepala besar diidentikkn dengan orang bodoh tetapi jujur, dagu kecil berarti berkepribadian lemah, alis tinggi berarti  pemiliknya luar biasa cerdas, alis rendah menandakan selera rendah, dsb. Menentukan kepribadian berdasarkan suatu bentuk wajah diatas merupakan suatu takhayul yang bodoh. Oleh karena tidak memiliki landasan ilmiah sama sekali.

  1. Tubuh

William Sheldon pernah mengembangkan suatu teori mengenai adanya hubungan antara benuk tubuh dengan kepribadian seseorang : orang berperawaan kurus (tipe ektomorfik) bersifat penakut, tertutup, dan terkekang; orang dengan tubuh berotot (mesomorfik) bersifat tegas, bersemangat, dan berani; orang dengan tubuh gemuk (endomorfik) cenderung tenang, gembira, dan peramah. Sheldon mengemukakan pendapatnya bahwa memang ada ketekaitan biologis atau lebih tepatnya secara embriologi.

  1. Penampilan Atraktif

Pengaruh terkuat pada bentuk wajah dan tubuh tampak pada penampilan atraktif yang kita saksikan pada diri seseorang. Hasil riset memperlihatkan bahwa guru lebih menyukai siswanya yang cantik atau yang tampan serta menaruh harapan lebih terhadap mereka ketimbang murid yang wajahnya biasa-biasa saja atau kurang menarik. Kenyataan semain lama Anda mengenal seseorang, semakin tidak penting peampilannya bagi anda. Akhirya, kita hendaknya tidak melupakan bahwa kecantikan atau ketampanan itu juga merupakan sesuatu yang subjek, sehingga tidak ada ukuran yang pasti.

  1. Gaya Bahasa, Dialek, dan Suara

Kita dapat menyimpukan beberapa hal berdasarkan gaya bahasa dan dialek yang diucapkan seseorang, meskipun hasilnya tidak begitu akurat. Kita dapat menyimpulkan asal usul seseorang berdasarkan logat atau dialek mereka. Telepas dari semua itu, dialek daerah perkotaan cenderung lepas, terbuka, cepat, dan keras. Sebaliknya, orang desa cenderung berbicara lambat dan perlahan. Lebih jauh lagi tinggi rendahnya suara juga menentukan stereotype seseorang terhadap diri anda.

Bila objek persepsi terletak diluar orang yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat bermacam-macam, yaitu dapat berwujud benda-benda, situasi, dan juga dapat berwujud manusia. Bila objek persepsi berwujud benda-benda disebut persepsi benda (things perception) atau juga disebut non-social perception, sedangkan bila objek persepsi berwujud manusia atau orang disebut persepsi sosial atau social perception (Heider. 1958). Namun disamping istilah-istilah tersebut khususnya mengenai istilah social perception masih terdapat istilah-istlah lain yang digunakan. Yaitu persepsi orang atau person perception (Secord dan Backman.1964), juga istilah person cognitionI atau interpersonal perception. Yang kurang dapat mendukung istilah social perception dalam pengertian person perception memberikan alasan bahwa karena persepsi sosial menyangkut persepsi yang berkaitan dengan variable-variabel sosial, sehingga ini memberikan pengertian yang lebih luas dari pada pengertian person perception (Tagiure dalam Lindzey dan Aronsome 1975).

Dalam individu mempersepsikan benda-benda mati bila dibandingkan dengan mempersepsikan manusia, terdapat segi-segi persamaan disamping segi-segi perbedaan adanya persamaan bila diliha tbahwa manusia atau orang itu dipandang sebagai benda fisik seperti benda-benda fisik lainnya yang terikat pada waktu dan tempat, pada dasarnya tidak berbeda. Namun karena manusia bukan semata-mata bukan hanya benda fisik melulu, tetapi mempunyai kemampuan-kemampuan yang tidak dipunyai oleh benda fisik lainnya, maka hal ini akan membawa perbedaan antara persepsi benda-benda dengan mempersepsi manusia (Morgan, dkk. 1984).

Mempersepsi seseorang, individu yang dipersepsi itu mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan, harapan walaupun kadarnya berbeda seperti halnya pada individu yang mempersepsi. Orang yangdipersepsi dapat berbuat sesuatu terhadap orang yang mempersepsi, sehingga kadang-kadang atau justru sering hasil persepsi tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Orang yang dipersepsi dapat menjadi teman, namun sebaliknya juga dapat menjadi lawan dari individu yang yang mempersepsi. Hal tersebut tidakakan dijumpai bila yang dipersepsi itu bukan manusia atau orang (Tagiuri danPetrullo, 1958). Ini berarti bahwa orang yang dipersepsi dapat memberikan pengaruh terhadap orang yang mempersepsi.

Persepsi sosial merupakan suatu proses seseorang untuk mengetahui, mempersepsikan, dan mengevaluasi orang lain yang dipersepsi, tentang sifat-sifatnya, kualitasnya dan keadaan yang lain yang ada dalam diri orang yang dipersepsi, sehingga terbentuk gambaran mengenai orang yang dipersepsi (Tagiuri dalam Lindzey dan Aronson, 1975). Karena yang dipersepsi itu manusia sepertihalnya yang mempersepsi, maka objek persepsi dapat memberikan pengaruh kepada orang yang mempersepsi. Dengan demikian dapat dikembangkan dalam mempersepsi manusia atau orang (person) adanya dua pihak yang masing-masing yang mempunyai kemampuan-kemampuan, perasaan-perasaan, harapan-harapan, pengalaman-pengalaman tertentu yang berbeda satu dengan yang lain, yang akan berpengaruh dalam orang mempersepsi manusia atau orang tersebut.

Dari uraian tersebut di atas, ada beberapa hal yang dapat ikut berperan dan dapat berpengaruh dalam mempersepsi manusia, yaitu :

  1. keadaan stimulus, dalam hal ini berujud manusia yang akan dipersepsi
  2. situasi atau keadaan sosial yang melatarbelakangi stimulus
  3. keadaan orang yang mempersepsi.

Walaupun stimulus personnya sama, tetapi kalau situasi sosial yang melatarbelakangi stimulus person berbeda, akan berbeda hasil persepsinya (Tagiuri dan petrullo, 1958). Situasi sosial yang melatarbelakangi stimulus person mempunyai peranyang penting dalam persepsi, khususnya persepsi sosial.

            Hasil eksperimen ini menyatakan bahwa mereka yang memperoleh pilihan yang paling banyak dari kawannya sebagai pemimpin justru mencapai nilai yang tinggi pada skala attitude tadi. Hasil eksperimen ini didukung oleh eksperimen-eksperimen lain.

  1. Pengukuran Persepsi

Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi yang diukur bersifat abstraks, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap terdiri dari metode self report dan pengukuran involuntary behavior.

Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan dapat menjadi indikator sikap seseorang. Namun kelemahannya adalah bila individu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau sikapnya. Sedangkan pengukuran involuntary behaviour dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap dipengaruhi kerelaan responden. Pendekatan ini merupakan pendekatan observasi terhadap reaksi-reaksi fisiologis tanpa disadari oleh individu yang bersangkutan. Observer dapat menginterpretasikan sikap/persepsi individu mulai dari facial reaction, voice tones, body gesture, keringat, dilatasi pupil mata, detak jantung dan beberapa aspek fisiologis yang lainnya.

Menurut Azwar, 2003 skala sikap disusun untuk mengungkap sikap pro dan kontra, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju terhadap suatu obyek sosial. Pernyataan sikap terdiri dari dua macam yaitu pernyataan favorable (mendukung atau memihak) dan unfavorable (tidak mendukung/tidak memihak) pada obyek sikap.

Skala sikap model likert biasanya terdiri dari 25-30 pertanyaan sikap. Sebagaian bersifat favourable dan sebagaian bersifat unfavourable yang sudah terpilih berdasarkan kualitas isi dan analisis statistika terhadap kemampuan pertanyaan itu dan mengungkap sikap kelompok. Subyek memberi respon dengan 5kategori kesetujuan yaitu :

  1. Sangat tidak setuju (STS)
  2. Tidak setuju (TS)
  3. Ragu-ragu/Netral (N)
  4. Setuju (S)
  5. Sangat setuju (SS)

Kriteria pengukuran persepsi yakni :

  1. Persepsi positif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner > T mean.
  2. Persepsi negatif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner < T mean.

Ada sejumlah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam mempersepsikan suatu stimulus/objek tertentu.

Kesalahan persepsi tersebut antara lain :

  1. Stereotyping

Stereotyping adalah mengkategorikan atau menilai seseorang hanya atas dasar satu atau beberapa sifat dari kelompoknya. Stereotip seringkali didasarkan atas jenis kelamin, keturunan, umur, agama, kebangsaan, kedudukan atau jabatan.

  1. Hallo effect

Hallo effect adalah kecenderungan menilai seseorang hanya atas dasar salah satu sifatnya. Misalnya anak yang lincah/banyak bermain dianggap lebih mudah terkena penyakit daripada anak yang lebih banyak diam atau santai. Padahal tidak ada hubungannya antara kelincahan dengan suatu penyakit.

  1. Projection

Projection Merupakan kecenderungan seseorang untuk menilai orang lain atas dasar perasaan atau sifatnya. Oleh karenanya projection berfungsi sebagai suatu mekanisme pertahanan dari konsep diri seseorang sehingga lebih mampu menghadapi yang dilihatnya tidak wajar ( Azzahy, 2008 ).

Untuk mengatasi hilangnya netral tersebut, Likert menggunakan teknik konstruksi test yang lain. Masing-masing responden diminta melakukan egreement atau disegreemenn-nya untuk masing-masing aitem dalam skala yang terdiri dari 5 point ( Sangat setuju, Setuju, Ragu-ragu, Tidak setuju, Sangat Tidak Setuju). Semua aitem yang favorabel kemudian diubah nilainya dalam angka, yaitu untuk sangat setuju nilainya 5 sedangkan untuk yang Sangat Tidak setuju nilainya 1. Sebaliknya,  untuk aitem yang unfavorabel nilai skala Sangat Setuju adalah 1 sedangkan untuk yang sangat tidak setuju nilainya 5.  Seperti halnya skala Thurstone, skala Likert disusun dan diberi skor sesuai dengan skala interval sama (equal-interval scale).

Unobstrusive Measures.           

Metode ini berakar dari suatu situasi dimana seseorang dapat mencatat aspek-aspek perilakunya sendiri atau yang berhubungan sikapnya dalam pertanyaan.

Multidimensional Scaling.            

Teknik ini memberikan deskripsi seseorang lebih kaya bila dibandingkan dengan pengukuran sikap yang bersifat unidimensional. Namun demikian, pengukuran ini kadangkala menyebabkan asumsi-asumsi mengenai stabilitas struktur dimensinal kurang valid terutama apbila diterapkan pada lain orang, lain isu, dan lain skala item.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

  1. KESIMPULAN

Pembahasan mengenai persepsi seseorang berarti membahas bagaimana terjadinya proses persepsi itu sendiri, yang dimana proses persepsi terjadi ketika kita menerima stimulus melalui penginderaan. Dalam segi penilaian seseorang juga akan memiliki persepsi yang berbeda pula, tergantung dari mana ia menilai sesuatu, bisa dari ekspresi emosional wajah, bentuk tubuh, cara berpenampilan, gaya bahasa. Persepsi seseorang terhadap orang lain sangat tergantung dengan komunikasi. Komunikasi sering dilakukan orang untuk mempertegas kesan dan akan berpengaruh pada hasil persepsi.

Individu berinteraksi, dari sana saling mempengaruhi dan saling memberi penilaian karena adanya objek yang dipersepsi. Objek menimbulkan stimulus yang mengenai alat indera atau reseptor. Stimulus dapat datang dari luar langsung mengenai indera dan dapat datang dari dalam yang langsung mengenai syaraf penerima (sensoris) tapi berfungsi sebagai reseptor. Adanya indera atau reseptor, yaitu sebagai alat untuk menerima stimulus.  Diperlukan adanya perhatian sebagai langkah awal menuju persepsi.

Dan yang perlu dipahami lagi yaitu bahwa pesepsi itu dimiliki oleh setiap individu, artinya setiap dari manusia memiliki cara pandang dan pemahaman yang pasti berbeda dalam melihat suatu obyek di lingkungan kita,baik itu manusia,makhluk hidup lain,ataupun benda mati. Jadi Persepsi merupakan suatu proses kognitif yang dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang lingkungannya.

 

 

 

 

Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi yang diukur bersifat abstraks, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran sikap terdiri dari metode self report dan pengukuran involuntary behavior.

Salah satu problem metodologi dasar  dalam psikologi sosial adalah bagaimana mengukur sikap seseorang. Beberapa teknik pengukuran sikap: antara lain: Skala Thrustone, Likert, Unobstrusive Measures, Analisis Skalogram dan Skala Kumulatif, dan Multidimensional Scaling.

Teknik skala yang dapat digunakan untuk mengukur perilaku adalah dengan menggunakan teknik skala Guttman. Skala ini merupakan skala yang bersifat tegas dan konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas seperti jawaban dari pertanyaan/pernyataannya dan tidak, positif dan negatif, setuju dan tidak setuju, benar dan salah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Azwar, Saifudin. 2010. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta Pustaka Pelajar

Azzahy, GH. (2008). Tentang Persepsi. From http://Syakira-blog.Blogspot.com.

Alimul hidayat, Aziz. 2007. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data. Salemba Medika: Jakarta

http://inestyandiny.blogspot.co.id/2012/11/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Ariningsih, Reni. 2013. Makalah Persepsi Sosial. http:// Psikologi Sosial/Reni Ariningsih  Makalah Persepsi Sosial.htm. diunduh tanggal 11 Oktober 2014, pukul 14.05 WIB

Atika,Nofrida(http://www.academia.edu/6666230/Makalah__persepsi_sosial?login=&email_was_taken=true (diunduh tanggal 11 Oktober 2014, pukul 10:52 WIB)

Boerre, George. 2010. Psikologi Sosial. Jogjakarta: Prismasophie

Kepli, Widyanto. 2012. Makalah Persepsi Sosial dan Kognisi Sosial. http://widyanto kepli  makalah persepsi sosial dan kognisi sosial.htm. (diunduh tanggal 11 Oktober 2014, pukul 14.15 WIB)

Sarwono, Sarlito W. 2002. Psikologi Sosial, Individu Dan Teori Teori Psikologi Sosial. Jakarta :Balai Pustaka.

Taylor, Shelley E, dkk. 2009. Psikologi Sosial, Edisi Kedua Belas. Jakarta: Kencana.

Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Penerbit ANDI. Yogyakarta

http://shifa17.blogspot.co.id/2014/11/makalah-persepsi-sosial.html

 

 

 

 

 

 

 

Leave a comment